Tuesday, 1 November 2016

KETIKA KIAI SEPUH NYANTRI

Mengembara untuk mencari ilmu merupakan tradisi pesantren yang disebut dengan santri kelana, yang menyusuri dari pesantren ke pesantren untuk mendalami pengetahuan. Ternyata tradisi itu tidak hanya berlaku di lingkungan santri. Para kiai sepuh juga melakukan hal demikian, seperti Kiai Cholil Bangkalan, Kiai Dahlan Jampes, termasuk kiai Chozin dari Sidoarjo Jawa Timur.

Kiai Chozin pemimpin pesantren Siwala Panji Sidoarjo, tempat bergurunya para ulama, termasuk kaia hasyim Asy’ari pernah nyantri di sana di bawah bimbingan Kiaia Chozin. Setelah itu Kiai Hasyim belajar ke Mekah selama beberapa tahun, belajar pada ulama terkemuka di Haramain. Selama di Mekah Kiai Hasyim menjalin hubungan dengan para ulama dan santri seluruh dunia dan ulama Nusantara khususnya. Karena itu sepulang dari Mekah Kiai Hasyim tetap menjadi pimpinan dan selalu menjadi rujukan para ulama Nusantara karena kealiman dan kharismanya.

Apalagi setelah mendirikan Jam’iyah Nahdlatul Ulama tahun 1926 popularitas Kiai ini semakin membesar, tidak hanya luasnya pengaruh, tetapi kedalaman keilmuannya. Mendengar kemasyhuran Kiai Hasyim itu tampaknya gurunya yaitu Kiai Chozin penasaran ingin memperoleh pengetahuan dari bekas santrinya itu, sehingga pada suatu bulan Romadlon tahun 1933. Kiai sepuh itu berangkat ke Pesantren Tebuireng untuk mengaji di sana.



Tentu saja kiai Hasyim Asy’ari merasa tidak enak, kiai sepuh dan guru yang sagnat dihormati itu mengikuti pengajiannya, sehingga memintanya sang kiai tidak ikut penajian karena beliau adalah gurunya yang lebih alim. Sementara pengajian hanya untuk para santri. Tetapi dengan tenang Kia Chozin menjawab, “Memang dulu saya guru sampeyan, tetapi sekarang sampeyan yang menjadi guru saya.” Mendengar jawaban itu kiai Hasyim tidak berkutik karena ini menyangkut sabda sang guru yang harus ditaati.

Kiai Chozin kemudian ditempatkan di kamar tersendiri, tidak bersama dengan santri lainnya. Tetapi hal itu menjadikan Kiai Chozin kurang senang dan minta ditempatkan dalam kamar bersama santri lainnya. Rupanaya kiai Hasyim tidak kehabisan akal untuk menghoirmati gurunya. "Begini kiai, sampeyan telah menjadi santri saya maka sampeyan harus taat pada sang guru."

Kemudian kiai Hasyim membuat beberapa peraturan khusus untuk santri sepuh ini, pertama, Kiai Chozin wajib menempati kamar yang telah disediakan, kedua, tidak diperkenankan mencuci pakain sendiri, ketiga, apabila memerlukan sesuatu harus meminta bantuan langsung kepada Kiai Hasyim, tidak perlu lewat santri. Sebagai santri dan sekaligus tamu, maka Kiai Chozin akhirnya mengikuti aturan yang dibuat oleh Kiai hasyim. Karena Kiai ini melihat ini sebagai bentuk penghormatan Kiai hasyim kepada Kiai.

Selama menjadi santri itu Kiai Chozin memperoleh bukti tentang keluasan dan kedalaman kiai bekas santrinya itu, maka ia memberikan dukungan sepenuhnya terhadap gerakan yang dilakukan, baik dalam keagamaan maupun gerakan politik melawan penjajahan. Karena itu selain para alumni Siwalan Panji diserukan masuk NU. Demikian juga ketika seruan jihad dikumandangkan pada 22 Oktober 1945, santri di sekitar Surabaya dan sidoarjo sangat aktif dalam perjuangan itu. (http://www.nu.or.id).

Disadur dari Buku Biografi Muhammad Ilyas, 2009

No comments:

Post a Comment